Perceraian salah satu resiko pernikahan dini

Sabtu, 10 April 2010

Usia pernikahan di bawah 10 tahun ternyata masih rentan terjadi perceraian. Hal itu terlihat dari meningkatnya jumlah kasus perceraian di Pengadilan Agama (PA) Nganjuk. Panitera/sekretaris (Pansek) PA Nganjuk Siti Nur'aini, menyatakan peningkatan angka perceraian dilatarbelakangi ketidaksiapan pasangan suami istri (pasutri) untuk mengarungi bahtera rumah tangga.


"Untuk usia pernikahan di bawah angka itu (10 tahun, red), masih rentan (cerai, red)," tutur wanita asli Malang tersebut.

Selain itu, banyaknya pernikahan usia muda juga menjadi salah satu faktor perceraian. Pemicunya karena ketidaksiapan mental. "Kalau orang muda rata-rata masih labil dan egonya tinggi," papar Siti.

Selain ketidaksiapan mental, ketidaksiapan ekonomi juga berpengaruh besar terhadap keutuhan pernikahan. "Memang kalau masih beberapa bulan menikah masih belum terasa," lanjut ibu tiga anak tersebut.

Namun kebutuhan ekonomi baru terasa setelah pasutri mempunyai anak. Otomatis istri akan menuntut suaminya jika anaknya menangis saat susunya habis. "Tidak mungkin mereka menggantungkan terus pada orangtua," imbuhnya. Nah, jika suami tidak mampu memenuhi tuntutan istri, perceraian jadi pilihan.

Dari data PA Nganjuk, pada 2008 sebanyak 643 perceraian karena salah satu pihak meninggalkan tanggungjawab. Jumlah tersebut meningkat menjadi 782 pada tahun berikutnya.

Faktor ketidakharmonisan, disebut Siti, juga merupakan penyebab tingginya perceraian. Tercatat pada 2008, 433 perceraian diputus karena alasan itu. Pada 2009, jumlahnya meningkat menjadi 444. Faktor lain penyebab perceraian adalah alasan ekonomi, gangguan pihak ketiga, cacat biologis, pernikahan paksa, kecemburuan, kekerasan dan hukuman.

Jumlah perkara perceraian pun selalu meningkat. Pada 2008 perkara yang masuk meningkat dari 1.562 menjadi 1781 pada 2009. Sementara perkara yang diputus selama 2008-2009 juga bertambah dari 1.411 menjadi 1.615. Siti memerkirakan jumlah itu bisa meningkat pada tahun-tahun selanjutnya.

Perkara yang disidangkan pun kebanyakan cerai gugat, bukan cerai talak. Berarti sebagian besar merupakan inisiatif dari istri. Itu terlihat pada 2008, sebanyak 936 dari 1.411 perceraian dipicu dari gugatan istri. Sisanya, 475 perkara merupakan cerai talak dari suami.

Jumlah tersebut meningkat menjadi 1.089 pada 2009. Itu merupakan gugatan cerai istri, dari 1.615 perkara perceraian yang diputus PA Nganjuk. Kuantitasnya hampir dua kali lipat dari cerai talak yang dilayangkan suami, yakni sebanyak 526 perkara.

Menurut Siti, kini istri tidak seperti dulu yang manut pada suaminya. Dipukul diam, ditinggal beberapa tahun juga masih menunggu. "Wanita sekarang sudah banyak yang berpendidikan," terangnya.

Selain itu, perlindungan hukum terhadap wanita juga sudah lebih diperhatikan. "Sekarang juga sudah ada UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang mayoritas korbannya adalah perempuan," urainya.

Namun begitu, pihaknya mengatakan kalau hal itu tidak boleh dijadikan alasan seorang istri untuk mengakhiri suatu pernikahan. "Bagaimanapun juga pernikahan adalah suatu hal yang sakral, jadi sebisa mungkin dipertahankan," tuturnya

Sumber Jawa Pos

0 komentar:

 
 
 

Silahkan bergabung menjadi teman kami

Lowongan Kerja

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

Domain Gratis